Ketika pindah ke tempat ini sebenarnya aku kurang sreg, karena daerahnya yang dikelilingi bukit-bukit membuat aku seperti sumpek. Sebab sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah bukit-bukit kecil, depan, belakang, kanan dan kiri semuanya bukit.
Apalagi desa ini termasuk daerah yang sulit air tatkala musim kemarau tiba. Dan bukan hanya itu saja, karena tempatnya yang sepi itu yang membuatku tidak betah. Namun apa daya....keadaanlah yang memaksaku untuk bertahan. Jika boleh memilih, aku lebih senang tinggal di tempat tinggalku sebelumnya. Di kota dan banyak tempat hiburan yang bisa ku kunjungi bila sedang jenuh.
Tahun pertama kepindahan aku sering mengeluh sebab jika kemarau datang sulit sekali untuk mendapatkan air bersih. Karena air sumur tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Warga desa di sini biasanya pergi ke sungai untuk keperluan mandi dan mencuci. Meski air yang di gunakan tidak memenuhi standar higienisasi. Bayangkan saja warnanya yang keruh dan banyak sekali iklan yang lewat. Karena warga juga menjadikan sungai tempat untuk membuang sampah dan kotoran. Mereka terlihat sangat menikmati pekerjaannya.
Jujur saja, aku merasa tak bisa jika harus mencuci di tempat seperti itu. Bukannya sombong, tetapi karena aku telah terbiasa dengan air yang bersih. Tapi untuk mendapatkannya pun bukanlah hal yang mudah, karena harus berjalan sejauh puluhan kilo dan melewati pematang-pematang sawah. Mata air itu terletak di kaki bukit. Tentu saja aku lebih memilih tempat itu meskipun jaraknya jauh dan membuat badanku terasa pegal dan capek.
Fiuh! Apa daya meski berat terpaksa harus aku lakukan. Tetapi inilah sifat dasar manusia yang selalu berkeluh kesah dan tidak dapat melihat kebaikan di balik setiap ujian. Inilah yang terjadi padaku, setiap musim kemarau tiba aku memandangnya seperti musuh. Aku hanya melihat yang di atas saja tanpa melihat yang di bawah.
Lalu suatu ketika di musim kemarau yang lain, aku berusaha bersikap pasrah dengan keadaan seperti ini. Toh mengeluh maupun tidak sama saja buatku. Aku berusaha menikmatinya dengan membaca dzikir sebisaku sambil menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tahmid, tasbih dan tahlil terus aku baca tanpa henti. Ini aku lakukan hingga beberapa hari, dan hasilnya......
Subhanallah.......aku merasa hatiku menjadi tenang dan tentram. Entah kenapa aku merasa bahagia dan sangat menikmati pekerjaan yang kulakukan. Aku tak pernah lagi mengeluh tentang jauhnya jarak yang harus kutempuh hingga membuat badanku terasa pegal dan capek. Yang ada hanyalah senang dan damai. Karena di sana aku banyak bertemu dengan orang-orang dan menjalin silahturahmi dengan warga lain.
Ah...tiba-tiba saja aku merasa malu, betapa selama ini aku tidak bersyukur dengan semua nikmat yang telah Allah berikan. Tidak sepantasnya aku bersikap demikian sebab keadaan di tempat tinggalku tidaklah separah bila dibandingkan di tempat lain. Aku seharusnya masih bisa bersyukur karena masih ada sungai dan mata air meski jaraknya yang jauh atau airnya yang keruh.
Kini aku tak lagi memandang kemarau yang datang sebagai musuh karena ini adalah bagian dari takdir. Ku sambut kemarau dengan hati yang senang dan sepertinya beban yang berat pun menjadi terasa ringan. Aku tak tahu apakah ini yang di namakan ikhlas.
Entahlah........
Apalagi desa ini termasuk daerah yang sulit air tatkala musim kemarau tiba. Dan bukan hanya itu saja, karena tempatnya yang sepi itu yang membuatku tidak betah. Namun apa daya....keadaanlah yang memaksaku untuk bertahan. Jika boleh memilih, aku lebih senang tinggal di tempat tinggalku sebelumnya. Di kota dan banyak tempat hiburan yang bisa ku kunjungi bila sedang jenuh.
Tahun pertama kepindahan aku sering mengeluh sebab jika kemarau datang sulit sekali untuk mendapatkan air bersih. Karena air sumur tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Warga desa di sini biasanya pergi ke sungai untuk keperluan mandi dan mencuci. Meski air yang di gunakan tidak memenuhi standar higienisasi. Bayangkan saja warnanya yang keruh dan banyak sekali iklan yang lewat. Karena warga juga menjadikan sungai tempat untuk membuang sampah dan kotoran. Mereka terlihat sangat menikmati pekerjaannya.
Jujur saja, aku merasa tak bisa jika harus mencuci di tempat seperti itu. Bukannya sombong, tetapi karena aku telah terbiasa dengan air yang bersih. Tapi untuk mendapatkannya pun bukanlah hal yang mudah, karena harus berjalan sejauh puluhan kilo dan melewati pematang-pematang sawah. Mata air itu terletak di kaki bukit. Tentu saja aku lebih memilih tempat itu meskipun jaraknya jauh dan membuat badanku terasa pegal dan capek.
Fiuh! Apa daya meski berat terpaksa harus aku lakukan. Tetapi inilah sifat dasar manusia yang selalu berkeluh kesah dan tidak dapat melihat kebaikan di balik setiap ujian. Inilah yang terjadi padaku, setiap musim kemarau tiba aku memandangnya seperti musuh. Aku hanya melihat yang di atas saja tanpa melihat yang di bawah.
Lalu suatu ketika di musim kemarau yang lain, aku berusaha bersikap pasrah dengan keadaan seperti ini. Toh mengeluh maupun tidak sama saja buatku. Aku berusaha menikmatinya dengan membaca dzikir sebisaku sambil menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tahmid, tasbih dan tahlil terus aku baca tanpa henti. Ini aku lakukan hingga beberapa hari, dan hasilnya......
Subhanallah.......aku merasa hatiku menjadi tenang dan tentram. Entah kenapa aku merasa bahagia dan sangat menikmati pekerjaan yang kulakukan. Aku tak pernah lagi mengeluh tentang jauhnya jarak yang harus kutempuh hingga membuat badanku terasa pegal dan capek. Yang ada hanyalah senang dan damai. Karena di sana aku banyak bertemu dengan orang-orang dan menjalin silahturahmi dengan warga lain.
Ah...tiba-tiba saja aku merasa malu, betapa selama ini aku tidak bersyukur dengan semua nikmat yang telah Allah berikan. Tidak sepantasnya aku bersikap demikian sebab keadaan di tempat tinggalku tidaklah separah bila dibandingkan di tempat lain. Aku seharusnya masih bisa bersyukur karena masih ada sungai dan mata air meski jaraknya yang jauh atau airnya yang keruh.
Kini aku tak lagi memandang kemarau yang datang sebagai musuh karena ini adalah bagian dari takdir. Ku sambut kemarau dengan hati yang senang dan sepertinya beban yang berat pun menjadi terasa ringan. Aku tak tahu apakah ini yang di namakan ikhlas.
Entahlah........
Key, aku mencoba memahami kamu dengan tempat tinggal baru kamu. Tapi yaaa gitulah orang hidup. Keberanian hidup adalah menerima dan hadapi segala apa yang kita dapat, sekalipun itu bukan sesuatu yang kita ingin. Yang seperti ini sedang terjadi padaku, sekalipun dengan cerita dan kondisi yang berbeda.
BalasHapusDan selamat berjuang.