Kamis, 27 Mei 2010

Musibah ini teguran ataukah ujian....

Mobil yang membawa kami melaju perlahan ketika melewati sebuah jalan sempit dan sedikit menanjak. Jalanannya yang berlubang dan tidak beraspal membuat kendaraan yang kami tumpangi sesekali bergoyang kekiri dan kekanan.

"Aduh!" teriak shafa diantara isak tangisnya. Terdengar memilukan dan menyayat hati. Setiap kali mobil berjalan melewati jalan yang terjal, ia mengerang kesakitan. Dan setiap kali itu pula, aku berusaha menenangkan untuk tetap tenang dan sabar, meskipun sebenarnya hatiku juga ikut tersayat setiap kali ia mengaduh.

"Pelan-pelan aja nyupirnya," pintanya sedikit meringis menahan sakit dan tangis. "Mah, kok belum nyampai juga, sakiiit...hiks..hiks."

"Sabar ya sayang, sebentar lagi juga sampai," hiburku seraya membelai rambutnya yang panjang agar ia merasa nyaman. Waktu terasa begitu lama kurasakan, terlebih lagi bagi putriku. Telah setengah jam perjalanan ini kami tempuh. Ya Allah...berikanlah kekuatan dan kesabaran agar kami dapat melewati musibah dengan penuh keikhlasan, doaku dalam hati.

Setengah jam yang lalu seorang tetangga datang menemuiku dengan tergopoh-gopoh. "Bu, anaknya kecelekaan tertabrak motor," katanya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun," desisku lirih. "Bagaimana kejadiannya?" tanyaku berusaha tenang dan mengatur detak jantung yang kian kencang. Seraut wajah melintas dalam benakku. Bukankah ia berada di madrasah belajar mengaji. Lagipula ini belum waktunya pulang karena biasanya pukul setengah empat sore.

"Anak ibu tertabrak ketika hendak menyeberang, mungkin hanya terserempet motor," jelas orang itu padaku.

Aku segera berlari ke jalan raya yang letaknya tak jauh dari rumahku. Kulihat seseorang tengah membopong tubuh putriku yang masih lengkap dengan pakainnya muslimnya.

"Kakinya patah," kata orang itu sembari memindahkan tubuh putriku ke dalam rengkuhanku. Patah! gumamku tak percaya. Kuperiksa seluruh tubuhnya, tidak ada yang luka sedikit pun tetapi kaki kanannya dibagian pergelangan terlihat bengkok.

Ya...Tuhan. Aku terduduk lemas sambil memangku tubuh mungilnya. Sesaat pikiranku kosong tak tahu harus berbuat apa. Sementara orang-orang masih mengerumuniku dan menatap wajah putriku dengan perasaan iba. Sedari tadi ia menangis terus tiada henti. Lalu seorang tetangga menyarankan padaku agar membawanya ke pengobatan ahli patah tulang untuk mendapatkan pertolongan segera mungkin.

"Aduh!" teriakannya kembali terdengar ketika mobil terasa bergoyang melewati jalan yang penuh bebatuan. Kupejamkan mata untuk menahan air mata yang sedari tadi kutahan agar tidak terjatuh. Setiap mendengar rintihannya hatiku seperti tertusuk duri. Jalan menuju rumah ahli patah tulang itu memang sangat jelek, belum tersentuh aspal dan penuh bebatuan.

Di persimpangan jalan, mobil berhenti karena sopir agak lupa jalan kearah sana. Setelah bertanya pada pemilik warung yang terletak diujung jalan, mobil kembali melaju menyusuri jalan yang sempit dan agak menanjak. Di depan sebuah plang bertuliskan"Pengobatan Ahli Patah Tulang" mobil kami berhenti. Rumah bercat hijau tosca itu terlihat sederhana. Seorang perempuan muda menyambut kedatangan kami.

"Silahkan masuk," sapanya ramah.

"Bapaknya ada?"

"Silahkan tunggu sebentar, bapak sedang memeriksa pasien," jelasnya.

Tidak kurang dari seperempat jam, seorang lelaki paruh baya datang menemui. Setelah kubaringkan diatas kasur, lelaki itu mulai memeriksa kaki putriku.

"Patah dan sedikit remuk," jelasnya sambil menunjuk bagian kaki yang patah. Lalu bapak itu memerintahkan perempuan muda tadi untuk membawa semua perlengkapan yang dibutuhkan.

"Tolong pegang tubuhnya," pintanya sebelum memijat dan mengurut kaki shafa yang bengkok. Menit berikutnya ia mulai mengolesi tangannya dengan minyak dan memijit-mijit bagian yang patah. Meluruskan dan menyatukannya kembali, diiringi oleh jerit tangis putriku yang kesakitan. Kupalingkan wajahku dan menutupnya dengan ujung kerudung. Aku tak kuasa membendung air mata yang mengalir deras, sekuat apapun dan berusaha tegar untuk tidak menangis. Namun hati ibu mana yang tak tega melihatnya begini.

Lelaki paruh baya itu membalut kaki putriku dengan sangat hati-hati. Setelah selesai, ia dipindahkan ke kamar pasien rawat inap untuk menjalani perawatan intensif. Sebuah ruangan yang cukup besar yang memuat delapan buah dipan. Semua telah terisi oleh pasien yang dirawat. Hanya tempat yang berada paling ujung dekat jendela yang masih tersisa. Semua orang yang berada diruangan itu menghampiri dan menyapaku. Aku sangat terharu atas perhatian mereka. Meskipun baru mengenal tapi layaknya saudara.

"Disini hanya menyediakan tempat saja, tapi untuk makan sehari-hari kita menyiapkan sendiri," jelas seorang ibu yang berada disamping putriku.

"Adik tidak membawa perlengkapan memasak dan baju?" tanya yang lainnya.

Aku menggeleng. "Tidak sempat, Bu. Tidak terpikirkan. Karena tadi terburu-buru," sahutku.

"Tidak apa-apa, dulu saya juga begitu," timpal seorang ibu yang mengenakan kebaya dan kain samping. "Jika adik butuh sesuatu bilang saja mungkin saya bisa bantu," katanya lagi.

Lalu kami saling cerita dan bertukar pengalaman tentang kejadian yang membuat kami berada disini. Dan sesekali obrolan kami diselingi oleh canda. Aku merasa sangat terhibur. Merekalah yang akan menjadi teman berbagi selama putriku menjalani perawatan disini. Entah berapa lama, karena semua tergantung kondisi.

Tiba-tiba seseorang datang menanyakan tentang anak kecil yang baru datang dan dirawat disini. Seorang ibu bertumbuh ramping meski usianya telah separuh abad. Mereka menuju kearahku, serta merta ibu itu menghampiri dan memelukku.

"Maafkan kesalahan anak saya, dik," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Ternyata ia adalah ibu dari anak yang menabrak putriku. Aku tersenyum. "Sudah saya maafkan."

"Tolong, jangan bawa urusan ini ke pihak berwajib," pintanya. "Kita ambil jalan damai, saya juga mohon agar adik tidak dendam dengan kejadian ini."

"Tidak pernah terlintas sedikitpun dihati saya untuk dendam dan membawa urusan ini ke polisi, Bu. Saya ikhlas, karena yang terjadi semua ini atas kehendakNYA," jawabku.

"Saat ini yang terpenting bagi kami adalah kesembuhan dan kesehatan putri kami."

"Terima kasih, dik. Oh ya ayahnya mana?"

"Masih berada disekolah. Tapi sudah dihubungi agar segera kemari."

Ibu itu memelukku. "Sekali lagi terima kasih. Semua biaya ini biar saya yang tanggung." Tak berapa lama kemudian suamiku datang, lalu ibu itu berbincang-bincang dengannya.

Semua yang terjadi memang atas kehendakNYA, kusadari itu. Tak perlu ada yang dipersalahkan atau disesalkan. Ya, Rabb...bisikku lirih ditengah malam yang sunyi, saat mereka tertidur lelap. Saat udara dingin menusuk tulang dan yang ada hanyalah keheningan malam. Aku bersimpuh dalam sujud yang panjang....

"Hanya kepadaMu lah aku berserah. Hanya kepadaMu lah aku pasrah dan tawakal. Jadikanlah aku hambamu yang ikhlas serta masukanlah hamba ke dalam golongan orang-orang yang bersabar..."

Musibah ini menjadi intropeksi untuk diriku sendiri, ujian ataukah teguran yang Allah berikan? aku hanya ingin melewatinya dengan mulus, dengan ikhlas dan sabar. Teringat kata-kata Ustadz tentang musibah yang terjadi pada seorang mu'min. Bahwa itu akan menjadi kafarat, penghapus dari kesalahan yang pernah kita perbuat atau Allah akan menaikan derajat bila lulus menjalaninya.

Dan kehadiran tetangga, sanak saudara serta teman-teman pengajian yang datang menjenguk cukup membuat hati terhibur. Perhatian mereka tidak akan pernah terlupakan. Meskipun banyak diantara mereka yang terharu dan berkaca-kaca ketika melihat keadaan putriku.





Kamis, 15 April 2010

Kenapa harus PNS?


Pertanyaan ini terus mengusik pikiranku ketika seorang saudara menceritakan bahwa ia ingin sekali menjadi pegawai negeri, meski harus menyogok berapa pun biayanya. Karena ia sudah bosan dengan usahanya yang selalu gagal dan telah menghabiskan uang puluhan juta. Ia berpikir jika uang yang dia keluarkan untuk membangun usaha, digunakan untuk masuk tes PNS mungkin kehidupannya akan lebih baik.

Begitu juga ketika kakak mempertanyakan kenapa anaknya yang telah lama menjadi tenaga honorer di sebuah instansi pemerintah belum diangkat juga menjadi PNS. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa untuk menjadi PNS sekarang ini harus menggunakan uang pelicin, yang nominalnya cukup membuat mata terbelalak. Dapat dipastikan ketika pendaftaran tes CPNS dibuka, orang berbondong-bondong mengirimkan lamaran dengan harapan yang sama.

Aku jadi teringat masa lalu ketika ayah mengatakan padaku bahwa beliau selalu berdoa setiap shalat agar aku mendapat jodoh seorang PNS kelak.

"Ayah kenapa harus PNS?" tanyaku sambil tersenyum. Aku sendiri tak pernah membayangkan seperti apa pekerjaan suamiku nanti. Karena kehidupanku sendiri mengalir begitu saja.

"Ya, karena ayah ingin calon suamimu nanti mempunyai pekerjaan yang tetap dan masa depan terjamin," sahut ayahku.

"Meski gajinya kecil?" timpalku. Ayah tertawa begitu juga denganku. Karena ayahku juga seorang PNS dengan gaji yang pas-pasan bahkan terkadang tidak cukup, maka aku tahu sekali bagaimana kehidupan PNS dijaman rezim Suharto. Bahkan untuk menambah penghasilan ibu bekerja sebagai karyawan honor di sekolah dan menerima pesanan kue. Ayah sendiri pernah menjadi tukang ojek. Dikemudian hari doa ayah ini benar-benar terkabul.

Menurut cerita Pak Bedur, seorang pegawai yang bertugas sebagai supir dinas ditempatku bekerja, dulu jika ingin menjadi pegawai negeri sangatlah mudah. Asal mau saja, ceritanya ketika kutanyakan mengapa ia bisa menjadi pegawai padahal beliau tidak bisa baca atau tulis.

"Bapak jadi pegawai karena ditawari. Dulu nggak ada yang mau jadi pegawai, Neng," ceritanya.

"Lho...kenapa, Pak?" tanyaku penasaran.

"Ya...maklum saja Neng, gaji pegawai itu kan kecil, pas-pasan. Kadang-kadang gali lubang tutup lubang." Aku tertawa mendengar ceritanya.

"Tapi bapak masih beruntung ya, masuk pegawai nggak perlu nyogok," ujarku. Pak Bedur tersenyum.

"Ya...asal bisa tanda tangan saja," sahutnya kocak.

Memang sangat ironis, tatkala banyak orang ingin menjadi PNS dengan berbagai cara, justru ada beberapa orang yang begitu saja meninggalkannya. Seperti yang terjadi dengan beberapa teman suamiku yang lebih memilih bekerja di swasta dengan gaji yang menjanjikan kala itu. Padahal ia telah diangkat menjadi PNS.

Ketika Suharto lengser dan negara dalam keadaan yang terpuruk akibat krisis moneter yang berkepanjangan. Dimana harga-harga yang melonjak tinggi dan pengangguran yang bertambah karena banyaknya karyawan yang di PHK, membuat rakyat menderita. Banyak perusahaan yang gulung tikar akibat badai krisis itu.

Mereka yang bekerja di perusahaan swasta selalu was-was karena sewaktu-waktu mendapat giliran PHK. Namun seorang pegawai negeri mampu bertahan meskipun harus terseok-seok mengikuti arus ekonomi yang tak mungkin dikejar. Masa-masa sulit untuk bangsa indonesia dan rakyatnya.

Tetapi bukankah sesudah kesulitan itu ada kemudahan?

Sejalan dengan bergulirnya reformasi saat itu, tatkala pemerintahan pasca orde baru membawa angin segar khususnya bagi PNS. Karena akan ada perbaikan untuk gaji PNS yang dinilai tak layak selama ini. Tentu saja kabar itu sangat menggembirakan. Dan itu berlangsung hingga kini....













Senin, 25 Januari 2010

Maaf... Bisakah Anda Berhenti Merokok?


Bis yang kutumpangi kali ini memang terasa nyaman, ini kesan pertama ketika masuk didalamnya. AC nya tidak terlalu dingin dan juga tidak tercium bau pewangi.

Baguslah.....kataku dalam hati, paling tidak untuk perjalanan selanjutnya aku akan merasa nyaman dan tanpa hambatan. Maklum saja aku termasuk orang yang hobi sekali mabuk kendaraan hehehe.

Apalagi jika mencium bau pewangi kendaraan AC atau mencium bau asap rokok, langsung saja perutku akan mual-mual dan mengeluarkan apa saja yang ada didalamnya.

Sebenarnya malu juga sih tiap naik angkutan mabuk kendaraan. Tapi gimana lagi karena ini hobi yang susah sekali dihilangkan. Malah menjadi seperti sugesti, karena belum apa-apa saja sudah pusing duluan. Meski aku sering bepergian tetapi penyakit yang satu ini sulit sekali hilang.

Dan kali ini aku sengaja memilih bis ber AC untuk menghindari orang yang suka merokok di sembarang tempat. Karena jika menumpang bis ekonomi tentu akan sulit menghindari kepulan asap rokok. Dan akibatnya aku bisa muntah-muntah sepanjang perjalanan hiiy...bakalan tersiksa. Dalam memilih bis AC pun aku pilih yang tidak ada pewanginya, sebab ini juga pemicu mabuk dikendaraan.

Perjalanan kali inipun sungguh sangat nyaman, aku bisa tidur didalam bis dan bisa ngemil dengan bebasnya. Tanpa terusik oleh mabuk kendaraan atau tutup hidung karena kepulan asap rokok. Namun....ditengah-tengah perjalanan aku mulai mencium sesuatu, hidungku memang peka sekali oleh bau asap rokok. Kuedarkan pandangan, ternyata benar laki-laki yang duduk dua bangku didepanku itu tengah asyik merokok.

Huh! aku mulai tak nyaman dan merasa terganggu dengan aktifitasnya itu. Orang itu apa nggak mikir sih kalau perbuatannya itu merugikan orang lain, terutama orang-orang yang berada disekitarnya, pikirku merasa kesal. Apa dia tidak mengerti atau pura-pura tak mengerti bahayanya merokok di dalam ruang ber AC. Lagi pula kan ada tempat khusus merokok dibagian belakang.

Ingin sekali kujitak kepala orang itu. Ini tak dapat dibiarkan begitu saja. Tampaknya orang-orang disebelah dan dibelakangnya tidak terpengaruh oleh aktifitas laki-laki itu.

"Maaf Pak, tolong bisa berhenti merokok sebentar, saya tidak tahan oleh bau asap rokok itu," tegurku pada laki-laki itu. Laki-laki separuh baya itu hanya mengangguk dan segera menghentikan kegiatannya. Fiuh! aku bernafas lega.

Jika kubandingkan dengan sikap orang asing yang pernah kutemui ketika masih tinggal di Bali dulu sungguh sangat jauh berbeda. Orang asing akan pergi menjauh dari keramaian dan mencari tempat yang sepi jika hendak merokok. Aku sangat salut pada sikap mereka, karena bagaimana pun asap yang ditimbulkan akan sangat mengganggu lingkungan sekitar. Dan yang akan menjadi korban adalah mereka yang sama sekali tidak merokok tetapi mempunyai peluang besar untuk terjangkit penyakit yang ditimbulkan olehnya.

Sementara orang kita, mereka sama sekali tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya yang merasa terganggu asap rokok. Pemandangan seperti ini sering kita temui dimana-mana. Seandainya mereka sadar betapa banyaknya kerugian yang diakibatkan olehnya, bukan saja untuk dirinya sendiri tetapi juga orang lain yang berada disekitarnya.

Jumat, 08 Januari 2010

Tentang Waktu

Ketika melihat jam di dinding waktu telah menunjukan pukul 22.45 menit waktu indonesia barat. Hwuaa.....tiba-tiba mataku membulat lebar..... tepatnya sih agak melotot hehe. Sudah larut malam rupanya, pantas saja kedua mataku terasa agak berat dan meredup meskipun tinggal lima waat.

Huff! kugerak-gerakkan badan dan tangan menyerupai cacing kepanasan sambil menguap sesekali. Ternyata waktu berjalan sangat cepat. Rasanya baru setengah jam yang lalu aku duduk di depan komputer dan berubah menjadi autis. Tapi ternyata......telah kuhabiskan waktu selama lima jam tanpa terasa.

Sejak internet masuk rumah, jam tidurku mulai berubah. Aku yang telah terbiasa mengembara ke negeri mimpi jam setengah sembilan kini malah asyik berpetualang ke negeri maya. Akibatnya aku sulit sekali bangun tengah malam, meski alarm berteriak-teriak membangunkanku. Aku terjaga hanya untuk mematikan alarm saja dan melanjutkan lagi acara tidur, walau keesokan harinya ada perasaan menyesal karena telah melewatkan malam tanpa tahajjud.

Prof. Dr. Yusuf Al Qardhawi pernah menulis dalam suatu tulisannya tentang dampak internet terhadap keluarga muslimah. Mungkin inilah yang tengah terjadi padaku, karena satu persatu aku mulai meninggalkan amalan rutin selepas shalat maghrib karena internet. Sebenarnya ada perasaan menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu.

Waktu cepat sekali ia bergulir dalam kehidupan ini. Terkadang tanpa kita sadari telah melewatkannya begitu saja. Semenit, sehari bahkan satu tahun tanpa terasa telah berlalu begitu cepat. Dan ketika menyadarinya kita telah jauh meninggalkannya.

Namun entah kenapa, kadangkala waktu juga terasa sangat lambat berputar. Tatkala kita tengah menunggu sesuatu, jarum jam terasa lama berputar bahkan satu menitpun terasa satu tahun lamanya.

Waktu memang terasa seperti air yang mengalir, ia tak dapat diputar dan di ulang kembali. Karena waktu adalah sebatas apa yang kita jalani hari ini, seperti apa yang pernah di katakan oleh khalifah Umar bin khatab. Bahkan Allah pun bersumpah demi waktu itu sendiri, bahwa manusia dalam kerugian yang besar jika tidak dapat memanfaatkan waktunya sebaik mungkin.

Untuk seorang pengusaha waktu adalah uang. Dan untuk kaum mukmin waktu adalah amal ibadah. Lalu bagaimana waktu menurut kita?

Jika mentafakurinya betapa banyak waktu yang telah terlewatkan begitu saja selama ini. Padahal Rasul sendiri pernah memperingatkan bahwa jika hari ini sama dengan hari kemarin maka kita termasuk orang yang merugi.

Ya....Allah ampunilah hamba-Mu yang seringkali lalai dalam mengisi waktu ini.......




Rabu, 30 Desember 2009

Selamat Datang Tahun 2010


Tanpa teras kita telah berada di penghujung tahun, karena tinggal beberapa hari lagi tahun 2009 akan segera berakhir dan berganti dengan tahun yang baru 2010. Biasanya untuk menyambut pergantian tahun banyak masyarakat yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan acara untuk menghabiskan malam tahun baru bersama keluarga atau relasinya. Dengan mendatangi tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan acara-acara dengan menampilkan artis-artis terkenal ibukota. Bahkan stasiun-stasiun televise pun tak mau ketinggalan, mereka saling berlomba-lomba untuk menghadirkan tayangan special 24 jam nonstop, untuk memanjakan penonton yang tak sempat pergi ke tempat-tempat hiburan.di malam pergantian tahun baru.

Sebenarnya kalau kita pikir tahun ini atau tahun esok sama saja, yang berbeda hanyalah angkanya tetapi entah kenapa setiap menjelang pergantian malam tahun baru menjadi sesuatu yang istimewa dan langka. Merayakan detik-detik pergantian malam tahun baru adalah sesuatu yang wajar dan sah-sah saja. Namun…alangkah baiknya jika kita mau bersikap bijak dalam melewatkan malam tahun baru. Tidak hanya dengan kegiatan yang bersifat hura-hura tetapi juga kita patut merenungkan apa yang telah kita lakukan dan perbuat selama tahun itu.

Apakah pengalaman menyenangkan yang telah kita lalui atau justru sebaliknya pengalaman pahit dan getir. Ataukah kemajuan yang telah kita rasakan atau malah kemunduran. Karena dari sanalah…kita bisa belajar dan mengevaluasi diri untuk menyongsong masa depan.dengan menjadi pribadi yang lebih baik.

Kita juga patut bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi umur panjang hingga masih diberi kesempatan untuk menyaksikan pergantian tahun. Dengan demikian hari-hari selanjutnya kita dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk hal-hal yang bermanfaat dan berguna.

Mari kita sambut tahun 2010 dengan harapan dan semangat yang ada agar tahun esok lebih baik dari tahun ini.

Senin, 28 Desember 2009

Hujan Yang Turun...




Hujan yang turun siang ini begitu deras dan lebat mengguyur semua apa yang ada di permukaan bumi ini. Sesekali di iringi oleh suara guntur dan kilat yang menyambar. Kuperhatikan rinainya yang jatuh, tercurah tiada hingga.

Ada rasa lega dan syukur dalam hatiku, setiap memasuki musim penghujan. Karena persediaan air sumur melimpah maka aku tak perlu lagi bersusah payah seperti saat musim kemarau. Untuk daerah yang sulit air seperti di tempatku, wajar jika aku mempunyai sikap seperti itu. Bahkan aku juga sering mengingatkan seseorang agar selalu hemat bila menggunakan air.

Mungkin sikap ini akan berbeda dengan mereka yang mempunyai tempat tinggal rawan banjir. Tetapi inilah kehidupan yang selalu memiliki pro dan kontra.

"Hujan yang turun adalah pertanda rahmatNya," kata Ayahku suatu ketika menjelang hari pernikahanku dulu. Saat keluarga dan sanak saudara yang mengkhawatirkan kondisi cuaca yang kurang bersahabat menjelang hari H. Bahkan mereka menganjurkan agar membuang celana dalam calon pengantin ke atas genteng, untuk mencegah turunnya hujan.

What's!!! yang benar saja, apa hubungan antara hujan dengan CD. Aku hanya tertawa saja menanggapinya. Ini benar-benar konyol. Mereka masih saja percaya dengan hal-hal yang berbau tahayul. Jika cuaca tidak mau kompromi itu wajar karena resepsi yang akan digelar bertepatan dengan musim hujan.

Mereka tetap kekeh dengan pendapatnya sementara aku juga tak rela jika harus mengorbankan CD kesayanganku ....he he he. Alhamdulillah, semua berjalan lancar keesokan harinya. Hujan pun turun begitu acara selesai.

Hujan adalah rahmat, aku suka sekali ungkapan itu karena memang begitulah adanya. Karenanya permukaan bumi ini menjadi hijau dan tanaman tumbuh dengan subur. Seandainya tak ada hujan, tentu bumi ini akan mengalami kekeringan dan semua makhluk hidup tidak akan dapat bertahan hidup.

Maha Besar Allah yang telah menciptakan segala sesuatu demikian sempurna. Terkadang kita tak pernah tahu dan menyadari hikmah dibalik itu semua. Tetapi inilah manusia dengan kemampuannya yang sangat terbatas.

Hujan turun semakin deras. Kadang-kadang disertai oleh angin yang kencang. Kuperhatikan anak-anak yang tengah bermain di bawah derasnya hujan, mereka tampak bahagia. Bercanda dan berlari-lari ke sana kemari sambil tertawa riang.

Tingkah mereka sangat lucu dan menggelikan, mengingatkan tentang masa kecil ketika hujan...

Senin, 14 Desember 2009

Syukuri Apa Yang Ada

Ketika pindah ke tempat ini sebenarnya aku kurang sreg, karena daerahnya yang dikelilingi bukit-bukit membuat aku seperti sumpek. Sebab sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah bukit-bukit kecil, depan, belakang, kanan dan kiri semuanya bukit.

Apalagi desa ini termasuk daerah yang sulit air tatkala musim kemarau tiba. Dan bukan hanya itu saja, karena tempatnya yang sepi itu yang membuatku tidak betah. Namun apa daya....keadaanlah yang memaksaku untuk bertahan. Jika boleh memilih, aku lebih senang tinggal di tempat tinggalku sebelumnya. Di kota dan banyak tempat hiburan yang bisa ku kunjungi bila sedang jenuh.

Tahun pertama kepindahan aku sering mengeluh sebab jika kemarau datang sulit sekali untuk mendapatkan air bersih. Karena air sumur tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Warga desa di sini biasanya pergi ke sungai untuk keperluan mandi dan mencuci. Meski air yang di gunakan tidak memenuhi standar higienisasi. Bayangkan saja warnanya yang keruh dan banyak sekali iklan yang lewat. Karena warga juga menjadikan sungai tempat untuk membuang sampah dan kotoran. Mereka terlihat sangat menikmati pekerjaannya.

Jujur saja, aku merasa tak bisa jika harus mencuci di tempat seperti itu. Bukannya sombong, tetapi karena aku telah terbiasa dengan air yang bersih. Tapi untuk mendapatkannya pun bukanlah hal yang mudah, karena harus berjalan sejauh puluhan kilo dan melewati pematang-pematang sawah. Mata air itu terletak di kaki bukit. Tentu saja aku lebih memilih tempat itu meskipun jaraknya jauh dan membuat badanku terasa pegal dan capek.

Fiuh! Apa daya meski berat terpaksa harus aku lakukan. Tetapi inilah sifat dasar manusia yang selalu berkeluh kesah dan tidak dapat melihat kebaikan di balik setiap ujian. Inilah yang terjadi padaku, setiap musim kemarau tiba aku memandangnya seperti musuh. Aku hanya melihat yang di atas saja tanpa melihat yang di bawah.

Lalu suatu ketika di musim kemarau yang lain, aku berusaha bersikap pasrah dengan keadaan seperti ini. Toh mengeluh maupun tidak sama saja buatku. Aku berusaha menikmatinya dengan membaca dzikir sebisaku sambil menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Tahmid, tasbih dan tahlil terus aku baca tanpa henti. Ini aku lakukan hingga beberapa hari, dan hasilnya......

Subhanallah.......aku merasa hatiku menjadi tenang dan tentram. Entah kenapa aku merasa bahagia dan sangat menikmati pekerjaan yang kulakukan. Aku tak pernah lagi mengeluh tentang jauhnya jarak yang harus kutempuh hingga membuat badanku terasa pegal dan capek. Yang ada hanyalah senang dan damai. Karena di sana aku banyak bertemu dengan orang-orang dan menjalin silahturahmi dengan warga lain.

Ah...tiba-tiba saja aku merasa malu, betapa selama ini aku tidak bersyukur dengan semua nikmat yang telah Allah berikan. Tidak sepantasnya aku bersikap demikian sebab keadaan di tempat tinggalku tidaklah separah bila dibandingkan di tempat lain. Aku seharusnya masih bisa bersyukur karena masih ada sungai dan mata air meski jaraknya yang jauh atau airnya yang keruh.

Kini aku tak lagi memandang kemarau yang datang sebagai musuh karena ini adalah bagian dari takdir. Ku sambut kemarau dengan hati yang senang dan sepertinya beban yang berat pun menjadi terasa ringan. Aku tak tahu apakah ini yang di namakan ikhlas.

Entahlah........