"Aduh!" teriak shafa diantara isak tangisnya. Terdengar memilukan dan menyayat hati. Setiap kali mobil berjalan melewati jalan yang terjal, ia mengerang kesakitan. Dan setiap kali itu pula, aku berusaha menenangkan untuk tetap tenang dan sabar, meskipun sebenarnya hatiku juga ikut tersayat setiap kali ia mengaduh.
"Pelan-pelan aja nyupirnya," pintanya sedikit meringis menahan sakit dan tangis. "Mah, kok belum nyampai juga, sakiiit...hiks..hiks."
"Sabar ya sayang, sebentar lagi juga sampai," hiburku seraya membelai rambutnya yang panjang agar ia merasa nyaman. Waktu terasa begitu lama kurasakan, terlebih lagi bagi putriku. Telah setengah jam perjalanan ini kami tempuh. Ya Allah...berikanlah kekuatan dan kesabaran agar kami dapat melewati musibah dengan penuh keikhlasan, doaku dalam hati.
Setengah jam yang lalu seorang tetangga datang menemuiku dengan tergopoh-gopoh. "Bu, anaknya kecelekaan tertabrak motor," katanya.
"Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun," desisku lirih. "Bagaimana kejadiannya?" tanyaku berusaha tenang dan mengatur detak jantung yang kian kencang. Seraut wajah melintas dalam benakku. Bukankah ia berada di madrasah belajar mengaji. Lagipula ini belum waktunya pulang karena biasanya pukul setengah empat sore.
"Anak ibu tertabrak ketika hendak menyeberang, mungkin hanya terserempet motor," jelas orang itu padaku.
Aku segera berlari ke jalan raya yang letaknya tak jauh dari rumahku. Kulihat seseorang tengah membopong tubuh putriku yang masih lengkap dengan pakainnya muslimnya.
"Kakinya patah," kata orang itu sembari memindahkan tubuh putriku ke dalam rengkuhanku. Patah! gumamku tak percaya. Kuperiksa seluruh tubuhnya, tidak ada yang luka sedikit pun tetapi kaki kanannya dibagian pergelangan terlihat bengkok.
Ya...Tuhan. Aku terduduk lemas sambil memangku tubuh mungilnya. Sesaat pikiranku kosong tak tahu harus berbuat apa. Sementara orang-orang masih mengerumuniku dan menatap wajah putriku dengan perasaan iba. Sedari tadi ia menangis terus tiada henti. Lalu seorang tetangga menyarankan padaku agar membawanya ke pengobatan ahli patah tulang untuk mendapatkan pertolongan segera mungkin.
"Aduh!" teriakannya kembali terdengar ketika mobil terasa bergoyang melewati jalan yang penuh bebatuan. Kupejamkan mata untuk menahan air mata yang sedari tadi kutahan agar tidak terjatuh. Setiap mendengar rintihannya hatiku seperti tertusuk duri. Jalan menuju rumah ahli patah tulang itu memang sangat jelek, belum tersentuh aspal dan penuh bebatuan.
Di persimpangan jalan, mobil berhenti karena sopir agak lupa jalan kearah sana. Setelah bertanya pada pemilik warung yang terletak diujung jalan, mobil kembali melaju menyusuri jalan yang sempit dan agak menanjak. Di depan sebuah plang bertuliskan"Pengobatan Ahli Patah Tulang" mobil kami berhenti. Rumah bercat hijau tosca itu terlihat sederhana. Seorang perempuan muda menyambut kedatangan kami.
"Silahkan masuk," sapanya ramah.
"Bapaknya ada?"
"Silahkan tunggu sebentar, bapak sedang memeriksa pasien," jelasnya.
Tidak kurang dari seperempat jam, seorang lelaki paruh baya datang menemui. Setelah kubaringkan diatas kasur, lelaki itu mulai memeriksa kaki putriku.
"Patah dan sedikit remuk," jelasnya sambil menunjuk bagian kaki yang patah. Lalu bapak itu memerintahkan perempuan muda tadi untuk membawa semua perlengkapan yang dibutuhkan.
"Tolong pegang tubuhnya," pintanya sebelum memijat dan mengurut kaki shafa yang bengkok. Menit berikutnya ia mulai mengolesi tangannya dengan minyak dan memijit-mijit bagian yang patah. Meluruskan dan menyatukannya kembali, diiringi oleh jerit tangis putriku yang kesakitan. Kupalingkan wajahku dan menutupnya dengan ujung kerudung. Aku tak kuasa membendung air mata yang mengalir deras, sekuat apapun dan berusaha tegar untuk tidak menangis. Namun hati ibu mana yang tak tega melihatnya begini.
Lelaki paruh baya itu membalut kaki putriku dengan sangat hati-hati. Setelah selesai, ia dipindahkan ke kamar pasien rawat inap untuk menjalani perawatan intensif. Sebuah ruangan yang cukup besar yang memuat delapan buah dipan. Semua telah terisi oleh pasien yang dirawat. Hanya tempat yang berada paling ujung dekat jendela yang masih tersisa. Semua orang yang berada diruangan itu menghampiri dan menyapaku. Aku sangat terharu atas perhatian mereka. Meskipun baru mengenal tapi layaknya saudara.
"Disini hanya menyediakan tempat saja, tapi untuk makan sehari-hari kita menyiapkan sendiri," jelas seorang ibu yang berada disamping putriku.
"Adik tidak membawa perlengkapan memasak dan baju?" tanya yang lainnya.
Aku menggeleng. "Tidak sempat, Bu. Tidak terpikirkan. Karena tadi terburu-buru," sahutku.
"Tidak apa-apa, dulu saya juga begitu," timpal seorang ibu yang mengenakan kebaya dan kain samping. "Jika adik butuh sesuatu bilang saja mungkin saya bisa bantu," katanya lagi.
Lalu kami saling cerita dan bertukar pengalaman tentang kejadian yang membuat kami berada disini. Dan sesekali obrolan kami diselingi oleh canda. Aku merasa sangat terhibur. Merekalah yang akan menjadi teman berbagi selama putriku menjalani perawatan disini. Entah berapa lama, karena semua tergantung kondisi.
Tiba-tiba seseorang datang menanyakan tentang anak kecil yang baru datang dan dirawat disini. Seorang ibu bertumbuh ramping meski usianya telah separuh abad. Mereka menuju kearahku, serta merta ibu itu menghampiri dan memelukku.
"Maafkan kesalahan anak saya, dik," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Ternyata ia adalah ibu dari anak yang menabrak putriku. Aku tersenyum. "Sudah saya maafkan."
"Tolong, jangan bawa urusan ini ke pihak berwajib," pintanya. "Kita ambil jalan damai, saya juga mohon agar adik tidak dendam dengan kejadian ini."
"Tidak pernah terlintas sedikitpun dihati saya untuk dendam dan membawa urusan ini ke polisi, Bu. Saya ikhlas, karena yang terjadi semua ini atas kehendakNYA," jawabku.
"Saat ini yang terpenting bagi kami adalah kesembuhan dan kesehatan putri kami."
"Terima kasih, dik. Oh ya ayahnya mana?"
"Masih berada disekolah. Tapi sudah dihubungi agar segera kemari."
Ibu itu memelukku. "Sekali lagi terima kasih. Semua biaya ini biar saya yang tanggung." Tak berapa lama kemudian suamiku datang, lalu ibu itu berbincang-bincang dengannya.
Semua yang terjadi memang atas kehendakNYA, kusadari itu. Tak perlu ada yang dipersalahkan atau disesalkan. Ya, Rabb...bisikku lirih ditengah malam yang sunyi, saat mereka tertidur lelap. Saat udara dingin menusuk tulang dan yang ada hanyalah keheningan malam. Aku bersimpuh dalam sujud yang panjang....
"Hanya kepadaMu lah aku berserah. Hanya kepadaMu lah aku pasrah dan tawakal. Jadikanlah aku hambamu yang ikhlas serta masukanlah hamba ke dalam golongan orang-orang yang bersabar..."
Musibah ini menjadi intropeksi untuk diriku sendiri, ujian ataukah teguran yang Allah berikan? aku hanya ingin melewatinya dengan mulus, dengan ikhlas dan sabar. Teringat kata-kata Ustadz tentang musibah yang terjadi pada seorang mu'min. Bahwa itu akan menjadi kafarat, penghapus dari kesalahan yang pernah kita perbuat atau Allah akan menaikan derajat bila lulus menjalaninya.
Dan kehadiran tetangga, sanak saudara serta teman-teman pengajian yang datang menjenguk cukup membuat hati terhibur. Perhatian mereka tidak akan pernah terlupakan. Meskipun banyak diantara mereka yang terharu dan berkaca-kaca ketika melihat keadaan putriku.